Jumat, 09 Desember 2011

Karikatur Jurnalistik Sebagai Media Pembelajaran

Masih ingatkah dengan karikatur “Rekening Gendut Perwira Polisi” yang dimuat pada sampul majalah Tempo? Karikatur itu terbit pertengahan tahun lalu, saat sedang ramai-ramainya kasus Susno Duaji.  Secara reaktif,  Polri menyatakan berkeberatan dan tersinggung dengan gambar karikatur tersebut. Yang membuat Polri tersinggung, konon adalah gambar celengan yang divisualisasikan dengan gambar babi.

Kasus karikatur ini kemudian oleh pihak yang berkeberatan dibawa ke pengadilan. Sampai-sampai Dewan Pers turun tangan untuk melakukan mediasi. Hal yang menarik, ternyata pihak yang tersinggung menerjemahkan gambar karikatur yang memang imajinatif itu dengan tafsiran sendiri, seolah-olah persepsi merekalah yang paling benar.

Padahal, karikatur sebagai produk seni, tentu saja menghendaki penafsiran yang disertai persepsi imajinasi dari penikmatnya. Ketika imajinasi sudah turut campur, maka penikmat karikatur pasti disuguhi sebuah ruang interpretasi yang betul-betul bebas.

Hal demikian itu akan menjadi lebih menarik ketika sebuah karikatur dibawa ke ruang kelas. Sifat karikatur yang menampilkan suatu situasi sedemikian rupa akan merangsang siswa untuk mendapatkan gagasan sebuah tulisan, khususnya tulisan argumentasi. Siswa hanya perlu didukung pengetahuan mengenai konteks peristiwa yang disampaikan dalam karikatur tersebut.

Pemanfaatan karikatur sebagai media pembelajaran menulis karangan argumentasi lebih berdasar kepada persamaan tujuan keduanya. Karikatur dan karangan argumentasi, sama-sama berniat mempengaruhi banyak orang dengan pesan dan kesan yang dimuat di dalamnya.

Lantas, bagaimana cara memanfaatkan karikatur ini sebagai media pembelajaran? Setidaknya, langkah-langkah berikut bisa menjadi jalan untuk memanfaatkan karikatur tersebut sebagai sebuah media pembelajaran. Untuk permulaan, siswa di dalam kelas dapat dibagi menjadi beberapa kelompok. Nantinya, setiap kelompok mendapatkan beberapa potong paragraf (puzzle paragraf) yang harus mereka susun menjadi satu atau dua wacana. Dari wacana yang ada itu, satu di antaranya harus merupakan wacana argumentasi.

Selanjutnya, setiap kelompok akan berlomba menyusun paragraf acak itu menjadi sebuah wacana yang koheren. Setelah didapati kelompok yang mampu menyusun secara tepat dan cepat, kelompok tersebut ditugaskan untuk mengidentifikasi jenis wacana yang mereka susun. Kesimpulan yang mereka ambil haruslah disertai alasan berdasarkan ciri-ciri macam wacana.

Kegiatan tadi, selain dimaksudkan untuk mengetahui jenis paragraf dan cara menyusun paragraf yang koheren, tapi juga bertujuan untuk membangkitkan motivasi siswa untuk mendapatkan materi selanjutnya.

Beranjak ke bagian menyusun karangan argumentasi yang dimaksud, dapat dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut.
1)      Memilih karikatur jurnalistik dari koran cetak atau online,
2)      Mendiskusikan topik yang terkandung dalam karikatur yang disajikan,
3)      Mengaitkan konteks peristiwa yang termuat dalam karikatur,
4)      Mengumpulkan data-data pendukung dari kliping koran atau internet,
5)      Menyusun kerangka karangan sesuai dengan topik yang dipilih,
6)      Mengembangkan kerangka karangan menjadi karangan argumentasi yang utuh.

Setelah semua tahapan tersebut dilalui, selanjutnya siswa melakukan silang baca dengan rekannya. Silang baca ini dimaksudkan untuk tahap penyuntingan terhadap isi, penggunaan tanda baca, dan kesalahan dalam penulisan.

Melalui metode seperti ini diharapkan dapat membuat siswa menjadi bagian dari orang-orang yang bisa memberikan penyikapan terhadap isu-isu yang terjadi di sekelilingnya. Penyikapan yang muncul adalah penyikapan yang orisinil, yaitu penyikapan yang disampaikan dengan gaya dan bahasa mereka, bukan bahasa hafalan “di luar kepala” dari buku-buku teori. Tentunya kita setuju bahwa belajar terbaik bukanlah hanya sampai cerdas, melainkan juga sampai bijak.

Membuat Siswa Aktif Bertanya

Banyak orang mengatakan bahwa peradaban manusia tumbuh dan berkembang dimulai dari pertanyaan. Untuk mengetahui kebenaran pernyataan itu, bacalah kisah kepenasaran Newton saat melihat apel jatuh dari pohonnya. Ketika itu ia bertanya-tanya, sehingga lahirlah teori gravitasi. Baca juga cerita tentang kegelisahan Zacharias Janssen saat bertanya-tanya tentang kemungkinan adanya makhluk-makhluk super kecil di sekeliling dia, sehingga kemudian ditemukanlah mikroskop.
Begitulah peradaban manusia di bumi ini berkembang dengan amat cepat. Pertanyaan-pertanyaan telah memicu sebuah tindakan yang ujung-ujungnya mampu menggerakkan pikiran individu lain untuk lebih kreatif dan inovatif.
Dalam buku “Bertanya atau Menjadi Keledai” disebutkan, mengajukan pertanyaan akan membuka ruang untuk berbagai gagasan dan pengetahuan baru. Saat kanak-kanak, kita sering bertanya. Kita juga selalu penasaran tentang segala sesuatu yang ada di sekeliling. Kita bertanya, apa ini? Apa itu? Mengapa begini? Mengapa begitu? ujung-ujungnya, pertanyaan-pertanyaan itu mampu menggiring kita kepada pemahaman tentang kondisi di sekitar kita.
Pada dasarnya, setiap orang memiliki kemampuan dan keterampilan untuk bertanya. Namun, seiring berjalannya waktu, kebiasaan bertanya itu kian berkurang. Menurunnya kebiasaan bertanya ini, mungkin dialami oleh sebagian besar dari anak didik di negeri ini. Siswa biasanya “mampet” ketika diminta bertanya atau diberikan kesempatan untuk bertanya.
Untuk itulah diperlukan sebuah strategi agar siswa berani dan mampu melontarkan pertanyaan. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk membiasakan siswa bertanya. Di antaranya, dapat dilakukan dengan cara mengubah format ujian (UTS/UAS) atau format ulangan harian dan soal-soal latihan.
Selama ini, guru terbiasa membuat soal yang meminta siswa untuk menjawab pertanyaan. Mulai sekarang, beruji cobalah untuk mengubahnya. Caranya, kondisi tersebut bisa dibalik, yaitu siswa diminta membuat pertanyaan dan guru menyediakan jawabannya.
Sebagai penerapan atas langkah sederhana itu, guru bisa menyajikan wacana dan siswa diminta membuat pertanyaan yang jawabannya termuat dalam wacana tersebut. Tentu saja, tingkat kesulitan dan variasi soalnya bisa diatur sedemikian rupa.
Selain itu, guru juga bisa menguji kemampuan komunikasi siswa dengan cara menyajikan sebuah dialog. Pada naskah dialog tersebut siswa diminta untuk melengkapi percakapan sehingga terjadi kegiatan tanya-jawab yang koheren (padu).
Cara ini tak hanya dapat dilakukan saat ujian, tetapi juga pada proses pembelajaran sehari-hari. Bertanya-jawab antara guru dan siswa akan menghasilkan interaksi yang dinamis. Sering-sering melakukan diskusi di dalam kelas diyakini mampu menghidupkan dan merangsang daya berpikir kritis anak didik.
Ada yang bilang, bertanya merupakan indikator bahwa pikiran masih ”jalan” dan selalu dinamis. Dengan bertanya, siswa mencoba menguji daya kritisnya. Bertanya juga merupakan sarana melatih pengembaraan daya kreativitas. Ketika bertanya, pemikiran siswa bertemu dengan pemikiran orang lain yang mengandung hal-hal baru, sehingga cakrawala berpikirnya semakin luas.
Hal ini juga membuat siswa tidak terpaku pada pemikiran diri sendiri. Sebaliknya, siswa mencoba meyakinkan apakah pemikirannya sejalan dengan pemikiran orang lain? Tentunya ini akan membuat siswa semakin kreatif karena berusaha terbuka terhadap pemikiran dari luar. Bertanya adalah tanda-tanda munculnya kreativitas. Apabila malu bertanya, maka akan tersesat di pemahaman.